Sunday 29 July 2012

Kedelai, Tempe, Importir, Kartel dan Perdagangan Bebas

Kedelai

Beny Trias Oktora

Ekonom


Setelah berakhirnya demonstrasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat kenaikan bahan mentah kedelai dan hiruk-pikuk yang menyertainya memunculkan beberapa pertanyaan yang tepat untuk diajukan terkait kedelai, tempe (one of my favorite dish at breakfast, lunch, dinner even for snack), importir dan perdagangan bebas.
  1. Apakah kebijakan proteksionis dari pemerintah dalam rangka melindungi kedelai lokal dengan hambatan bea masuk yang tinggi menciptakan kartel kedelai yang dapat seenaknya sendiri mengatur distribusi dan harga?
  2. Apakah dengan menghilangkan hambatan perdagangan yang menjadi jargon utama perdagangan bebas "removed all trade barriers" akan membuat harga kedelai lebih murah dan menguntungkan produsen tempe dan akan merugikan petani kedelai?
  3. Jika pertanyaan pertama dan kedua benar adanya, makanya apakah lebih banyak pihak yang diuntungkan yaitu produsen tempe, konsumen, kartel hilang sedangkan yang dirugikan hanya petani kedelai saja?
  4. Yang terakhir, terutama dengan adanya kisruh kartel akibat kebijakan proteksionisme pemerintah atas produk kedelai, apakah dengan fakta demikian perdagangan bebas menjadi solusi untuk menghilangkan kartel dan memastikan pasokan dengan harga pasar sesungguhnya?
Kisruh penolakan kenaikan harga kedelai dan tindakan sweeping tempe sebenarnya sudah menjawab semua pertanyaan diatas.

Dengan pasokan kedelai lokal yang susah untuk memenuhi kebutuhan nasional kemudian ada sebagian kebutuhan yang diimpor yang kemungkinan hanya dimainkan oleh segelintir pemasok untuk mencari keuntungan terlalu besar menciptakan kelangkaan memicu kenaikan harga. Kemudian dengan untuk melindungi kedelai dalam negeri yang kalah bersaing dengan harga kedelai impor pemerintah levy high tax barrier yang menambah harga makin meroket. Apakah skema seperti ini akan dilanjutkan?

Jika hambatan bea masuk kedelai dihilangkan maka harga lebih murah, pasokan aman dan kartel hilang. Namun petani kedelai menelan pil pahit. Pertanyaannya kenapa harga kedelai lokal lebih mahal padahal kedelai impor harus bayar ongkos kirim untuk ekspor? Tentunya kedelai impor lebih kompetitif karena entah lebih efesien dalam produksi (misal adanya kemudahan dan fasilitas dari pemerintahnya) atau harga disubsidi pemerintah.

Apakah bisa disimpulkan dengan menghilangkan hambatan perdagangan kedelai akan menormalkan kembali harga kedelai sesuai harga pasar? Let see.

Wednesday 18 July 2012

Catatan: Apakah Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan bisa digantikan Hibah?

Pembangunan

Beny Trias Oktora

Analis Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan



Ada yang berpendapat bahwa dengan sudah berjalannya desentralisasi/otonomi daerah dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan azas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan akan terkoreksi dan berevolusi menjadi skema hibah. Dasar pemikiran yang menjadi argumentasi adalah pada perjalanan akhir pelaksanaan urusan dalam hal ini urusan pemerintah pusat di daerah dengan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah peng hibah an seluruh aset hasil pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah sehingga diargumentasikan jika pada akhirnya adalah akan dihibahkan kenapa tidak dari awal   melalui hibah saja. 

Pendapat ini melihat dari sisi kepraktisan semata yang tidak memperhatikan substansi utama dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jelas sekali bahwa dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah salah satu azas pelaksanaan/penyelenggaraan urusan pusat yang ada di daerah (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004). Yang berarti bahwa pemerintah pusat bertanggungjawab atas urusan tersebut yang pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Pelimpahan delegasi melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada daerah dilakukan dengan adanya pedoman dana dan teknis dengan maksud adanya kesamaan tujuan dan adanya kontrol oleh pemberi mandat. Dalam masa pelaksanaan juga diadakan pendampingan dan bimibingan teknis oleh kementerian/lembaga. Pada penghujung pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan BPK akan memeriksa yang apabila pelaksanaan ada penyimpangan pemberi mandat (kementerian/lembaga) akan diberikan opini yang tidak wajar. Esensinya adalah penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat kemudian didelegasikan ke pemerintah daerah dengan pedoman yang pada akhirnya dipertanggungjawabkan oleh kementerian/lembaga. 

Yang menjadi pertanyaan inti adalah apakah urusan pemerintah pusat bisa dihibahkan ke pemerintah daerah. Karena hibah mempunya nuansa "memberikan" dan "melepas" maka urusan yang dihibahkan akan memberikan dan menghibahkan tanggungjawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan pijakan PP No. 38/2007, urusan sudah dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga jika tingkat pemerintah yang lebih tinggi melepas urusan yang menjadi tanggungjawabnya akan menimbulkan preseden buruk bagi penyelenggaraan urusan.Disatu sisi hibah merupakan alat atau muara dari penyelenggaraan urusan bukan landasan/azas penyelenggaraan urusan. Cakupan hibah pun terbatas hanya pada aset dan dana.

Bisa disimpulkan bahwa sungguh tidak mungkin azas penyelenggaraan urusan pemerintahan yaitu azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan diganti spenuhnya dengan hibah. Penyelenggaraan urusan adalah sesuatu yang melekat pada semua tingkatan pemerintahan sehingga tidak bisa melepas urusan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan azas, pokok dan landasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintah sedangkan hibah adalah "alat" bukan azas sehingga keduanya tidak bisa saling menggantikan.

  

Monday 9 July 2012

PENGALIHAN KEGIATAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN YANG MERUPAKAN URUSAN DAERAH KE DAK: DATA, ANALISA DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Ilustrasi 

Beny Trias Oktora, SE, MA

  • Analis Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • Kepala Subbidang Penyiapan Bahan Analisa Kebijakan Moneter, Kemenko Perekonomian 

Latar Belakang

Prasyarat untuk menghadirkan desentralisasi atau dalam cakupan yang lebih luas otonomi daerah sesungguhnya ada yang terlewat jauh atau lebih tepatnya belum tuntas benar adalah konsensus bersama untuk menyepakati batas-batas mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Penuntasan atas mana yang menjadi urusan pusat dan urusan daerah yang belum benar-benar rampung menyisakan kendala dan menjadi persoalan serius terutama dalam pelaksanaan urusan baik di pusat maupun di daerah pasca pelaksanaan desentralisasi/otonomi daerah. Kemudian pembagian urusan yang belum tuntas tadi merambat dalam pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sejatinya adalah untuk menunaikan urusan pusat yang ada di daerah menjadi media dari kementerian/lembaga untuk ikut melaksanakan dan mendanai urusan daerah dengan alasan yang bisa dibenarkan dengan argumentasi serta intepretasi dari sudut pandang masing-masing kementerian/lembaga.

Pengalihan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan amanat Pasal 108 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Permintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Disamping itu, dengan adanya temuan BPK RI bahwa masih ada dana pemerintah pusat yang membiayai urusan daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sehingga BPK RI merekomendasi untuk mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang membiayai urusan daerah ke mekanisme DAK.

Tulisan ini mencoba untuk menghadirkan data, menganalisa dan menyodorkan rekomendasi kebijakan atas pelaksanaan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang melaksanakan urusan daerah ke DAK sebagimana diamanatkan dalam Pasal 108 UU No.33/2004. Bagian kedua tulisan mengulas kendala dan fakta dalam proses pelaksanaan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang melaksanakan urusan daerah ke DAK. Bagian ketiga menganalisa atas kendala dan fakta yang menyeruak dalam proses pelaksanaan pengalihan termasuk pendekatan yang digunakan dalam mengidentifikasikan serta hasil identifikasi secara acak atas sampel kementerian/lembaga yang teridentifikasi melalui kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melaksanakan urusan daerah. Bagian keempat penulis memberanikan diri untuk merumuskan rekomendasi kebijakan atas pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang melaksanakan urusan daerah ke DAK secara khusus serta merumuskan rekomendasi kebijakan atas pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah secara umum.

Data, Fakta dan Kendala Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke DAK


Ilustrasi
Pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pasca implementasi desentralisasi/otonomi daerah mengungkapkan data dan fakta yang cukup mengejutkan semua pemangku kepentingan. Keterkejutan bukan hanya dari sisi keuangan negara semata juga memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah terancam keberlangsungannya karena urusan-urusan yang harusnya dilaksanakan oleh daerah (daerah enggan melaksanakan) justru dilaksanakan oleh pusat serta yang lebih ironis adalah adanya urusan daerah tersebut dikembalikan ke pusat. Dari sisi keuangan negara jelas berakibat inefisiensi jika ada urusan daerah yang dilaksanakan oleh pusat (dibiayai APBN) dan daerah juga menganggarkan melalui APBD. Dari hasil screening Kementerian Keuangan (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Anggaran) atas RKA-KL tertentu juga terungkap bukan hanya dengan skema pendanaan melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk membiayai urusan daerah tapi juga melalui skema pembiayaan melalui kantor pusat kementerian/lembaga.


Proses identifikasi internal Kemenkeu (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Anggaran) dan dilanjutkan dengan Kemenneg PPN/Bappenas dan kementerian/lembaga dilakukan atas 16 RKA-KL TA 2012. Dengan menggunakan data RAK-KL TA 2012 juga menyimpan kelemahan dan mungkin moral hazzard dari kementerian/lembaga. Kemungkinan bisa terjadi hasil identifikasi atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah pada TA 2012 tidak direncanakan dan tidak dianggarkan kembali oleh kementerian/lembaga. Yang dimaksud dengan indikasi moral hazzard adalah untuk menghindari kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah hasil identifikasi kementerian/lembaga menghilangkan kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan mengganti kegiatan lain.

Sejak dari hulu yaitu dalam proses perencanaan dan penganggaran program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan berpotensi untuk menjadikan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melaksanakan urusan daerah. Sebagai akibat minimnya sosialisasi atas pembagian urusan di legislatif dan eksekutif (dalam hal ini adalah kementerian/lembaga) berimplikasi pada tumbuh suburnya pemikiran yang sifatnya sektoral tanpa mengindahkan pembagian urusan yang diatur dalam PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap bahwa walaupun penanggungjawab semua urusan pada akhirnya adalah pemerintah pusat, kementerian/lembaga terikat dengan kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan urusan yang merupakan urusan daerah.

Sesuai prinsip money follows function (kewenangan mengikuti fungsi) berimplikasi dengan hilangnya kewenangan untuk pendanaan atas urusan yang merupakan urusan daerah dari kementerian/lembaga. Secara eksplisit bisa diartikan kementerian/lembaga akan kehilangan jumlah dana untuk program/kegiatan yang melaksanakan urusan daerah. Dengan kondisi seperti ini yang terjadi adalah sebaliknya dimana pemerintah berkomitmen untuk menjaga pelaksanakan desentraslisasi mengalami situasi yang serba sulit karena alokasi anggaran untuk pendanaan desentraslisasi menjadi terbatas karena walaupun dengan prinsip kewenangan mengikuti fungsi kementerian/lembaga memadang pendanaan atas program/kegiatan yang merlaksanakan urusan daerah dialihkan ke DAK tidak mengurangi besaran pagu anggaran.


Capaian desentralisasi/otonomi daerah, yang sudah menginjak usia 10 tahun, memang masih jauh dari yang diharapkan. Tesis yang paling mahsyur tentang adanya pemerintah lokal (dibentuk dengan prinsip demokrasi) yang menciptakan kedekatan untuk menyediakan barang publik yang sesuai preferensi publik lokal (baca rakyat di daerah) sehingga menciptakan efisiensi penyediaan barang publik dan pada akhirnya adalah kesejahteraan menjadi antitesis untuk beberapa contoh kasus di Indonesia. Sebagai contoh yang cukup menguncang adalah adanya kasus gizi buruk di daerah yang dengan tesis tersebut di atas bisa langsung diatasi langsung oleh pemerintah daerah hasil dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta itu, menjadi kekhawatiran jika terjadi pengalihan besar-besaran atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang melaksanakan urusan daerah ke DAK. Seperti sudah diulas sebelumnya, kementerian/lembaga mempunyai kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan suatu misi (baca urusan) yang menjadi urusan daerah dengan ukuran kinerja tertentu. Jika urusan ini dikembalikan ke daerah menimbulkan sejumlah kekhawatiran yaitu:


  1. Kemampuan SDM di daerah dalam melaksanakan urusan tertentu dengan indikator kinerja yang spesifik. 
  2. Dengan koordinasi yang masih belum sungguh benar terintegrasi dan faktor politis maka kontrol atas urusan yang menjadi kontrak kinerja akan sulit dilakukan. Yang pada akhirnya kontrak kinerja tidak dapat tercapai.
  3. Skema pendanaan dengan DAK atas urusan daerah dinilai oleh kementerian/lembaga diragukan efektifitasnya berkaitan dengan aturan yang ada tidak memungkinkan pihak kementerian melakukan intervensi dalam pelaksanaanya.

Beranjak ke faktor teknis yang terkandung dalam kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dan DAK memunculkan dikotomi ataupun kontrakdiksi satu sama lain antara keduanya. Dikotomi yang pertama adalah dari sifat kegiatan dekonsentrasi yang bersifat non fisik yang berupa kegiatan koordinasi, bimbingan teknis dan sejenisnya yang ditujukan kepada sesama aparatur di daerah sedangkan kegiatan DAK bersifat fisik. Kemudian adalah adanya ketentuan dana pendamping yang harus dialokasikan dalam APBD untuk kegiatan DAK bisa memberatkan daerah. Dengan terbatasnya bidang dari DAK tidak bisa menampung kegiatan tugas pembantuan yang tidak sesuai dengan bidang DAK yang ada saat ini menambah daftar dikotomi selanjutnya.

Jangka waktu pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu dimulai 2 tahun sejak tahun 2008 sudah dilakukan oleh beberapa kementerian, sebagai contoh adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan sudah melakukan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yaitu kegiatan BOS. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara optimal sehingga ada indikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meminta kembali pengelolaan Dana BOS.

Kendala dan fakta proses pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sudah diuraikan dapat dikategorikan kedalam 4 (empat) kelompok utama kendala dan fakta pengalihan yaitu:


  1. Kendala dan fakta dari sisi metode pendekatan dalam mengklasifikasikan pembagian urusan pemerintahan (yang menjadi faktor utama). 
  2. Dengan masih dominannya peran pemerintah pusat dalam melaksanakan semua urusan pasca implementasi desentraslisasi/otonomi daerah mengaburkan posisi masing-masing layer pemerintahan. 
  3. Dengan usia desentraslisasi/otonomi daerah yang sudah 10 tahun, kemampuan daerah dalam melaksanakan urusan wajib masih terbatas sungguh menjadi ironi yang mematahkan tesis desentralisasi/otonomi daerah. 
  4. Kesinkronan aturan teknis menjadi kendala yang cukup signifikan menjadi ganjalan untuk merampungkan pengalihan secara tuntas.

Untuk itu, penulis mencoba menganalisa secara menyeluruh atas kendala dan fakta pengalihan dalam rangka mencapai solusi yang menyeluruh dan yang punya kemungkinan bersumbangsih untuk menyelesaikan dalam bagian ketiga.

Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke DAK

Asumsi/Pra-anggapan 

Sebelum menuju pada analisa pokok dari kendala dan fakta pengalihan ada beberapa asumsi yang menyelimuti kendala dan fakta selama proses pengalihan dan layak diuraikan disini. Berikut asumsi atau pra-anggapan dimaksud:
  1. Untuk urusan daerah yang menjadi prioritas nasional dan menjadi kontrak kinerja antara menteri dengan presiden akan sulit untuk dialihkan. Karena kementerian berpendapat bahwa itu menjadi urusan yang sangat penting. 
  2. Dalam pembahasan kegiatan antara komisi teknis dan kementerian/lembaga yang menjadi landasan pemikiran adalah pemikiran sektoral dan kurang mengindahkan penggunaan landasan pemikiran dalam era desentraslisasi/otonomi daerah dimana pemerintah pusat secara umum adalah yang bertanggungjawab untuk penyusunan NSPK sedangkan daerah yang mengimplementasikan. 
  3. Besaran anggaran dari kementerian/lembaga setiap tahunnya tidak mungkin turun atau setidaknya akan sama dengan tahun sebelumnya. 
  4. Daerah tidak siap dalam melaksanakan pengalihan yang akan berakibat buruknya kinerja urusan. 
Asumsi-asumsi tersebut berpengaruh atas pencarian solusi yang diharapkan dapat diformulasikan. Dengan analisa yang kuat asumsi-asumsi atau pra-anggapan tersebut di atas dapat diarahkan dengan pijakan yang objektif.

Analisa

Pengambilalihan urusan daerah oleh kementerian/lembaga yang diikat dengan kontrak kinerja antara kementerian/lembaga dengan presiden dengan maksud untuk efektifitas jika dicermati 
Ilustrasi
bisa tetap dengan skema seperti itu dengan mengedepankan prinsip sinergi dimana kementerian/lembaga menjadi dewan komisaris yang menetapkan rencana, target dan sasaran sedangkan daerah adalah CEO yang mengimplementasikan visi dan misi. Kinerja untuk masing-masing dapat di ukur dari masing-masing tanggungjawab. Kementerian/lembaga diukur dari sisi penyusunan perencanaan, cara/tools yang ditetapkan serta bimbingan teknis dan evaluasi yang dilaksanakan. Ukuran kinerja daerah adalah dengan pencapaian sasaran dan target yang dibebankan. Juga berkembang pemikiran bahwa kontrak kinerja yang melaksanakan urusan daerah tidak seharusnya kementerian/lembaga “terjun langsung” melaksanakan melainkan dapat melibatkan daerah. Secara ektrem bisa dikritisi atau di “challenge” kedudukan kontrak kinerja antara presiden dengan kementerian/lembaga yang melaksanakan urusan daerah dengan aturan-aturan yang terkait dan konfrontasikan dengan era desentralisasi/otonomi daerah. Lebih jauh lagi, kedudukan secara jelas mana yang lebih tinggi dari sisi hirarki dalam hukum tata Negara antara kontrak menteri dengan presiden dengan amanat undang-undang.

Penulis menilai bahwa pembahasan kegiatan dan alokasi anggaran harus benar-benar dalam frame yang utuh yaitu sektoral yang mengindahkan prinsip desentraslisasi/otonomi daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih urusan yang tidak efisien dan tidak efektif. Sinergi dan profesionalitas legislatif dan eksekutif dituntut meningkat sehingga asumsi-asumsi yang tidak berdasar tidak lagi dikedepankan, sebagai contoh anggaran kementerian/lembaga yang setidaknya sama dengan tahun lalu dan tidak mungkin turun dikaitkan dengan pelaksanaan pengalihan yang berkonsenkuensi pengurangan anggaran.

Berkaca dari pelaksanaan DAK yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional dimana terdapat contoh sukses dalam pelaksanaannya tidak bisa dipungkiri ada daerah yang memang serius dan mampu melaksanakan DAK dengan baik. Pencapaian tersebut juga bersinergi dengan kementerian/lembaga. Justifikasi bahwa dengan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK memerlukan kesiapan daerah dapat dibantahkan walaupun memang ada daerah yang memang belum siap melaksanakan DAK.

Mencari solusi yang berkaitan dengan teknis memang tidak semudah untuk merubah pada tataran makro atau teori karena menyangkut dengan aturan yang berkonsekuensi. Dikotomi fisik dan non fisik antara kegiatan dekonsentrasi dan kegiatan DAK dengan memunculkan solusi fund chanelling baru juga dipandang tidak tepat begitu juga dengan diarahkan pada dana penyesuaian yang dapat menimbulkan moral hazzard dengan konsekuensi yang jauh lebih kompleks. Sampai titik teknis memang solusi yang tepat adalah dengan penguatan aturan DAK dengan mencari balance yang sesuai antara aspirasi daerah, prioritas nasional, target yang tercapai, akuntabilitas, kemampuan keuangan negara, sinergi pusat dan daerah serta efisiensi dan efektivitas.

Pendekatan Analisa Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah


Untuk menyempurnakan bagian ketiga, penulis menyertakan pendekatan yang digunakan dalam menganalisa suatu kegiatan baik kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan maupun kegiatan yang lain dari kementerian/lembaga yang terindikasi merupakan urusan daerah dan disarankan untuk dialihkan ke DAK. Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

  1. Analisa kesamaan nama dan/atau jenis kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum di RKA-K/L dengan lingkup bidang kegiatan yang tercantum dalam DAK sesuai PMK Nomor 209/PMK.07/2011. 
  2. Analisa kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum dalam RKA-K/L berdasarkan pemetaan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana termuat dalam lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007. 
  3. Analisa sifat kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum dalam RKA-K/L berdasarkan keterkaitan manfaat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat (direct delivery public service).


"Kegiatan penyuluhan pertanian 
merupakan salah satu contoh 
kegiatan yang langsung 
memberikan pelayanan kepada 
masyarakat petani yang 
merupakan urusan daerah" 
Analisa atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang terindikasi merupakan urusan daerah dengan menggunakan pendekatan ini mengambil salah satu kriteria yang ada bukan merupakan pemenuhan semua kriteria. Jika ada kegiatan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang terindikasi merupakan urusan daerah yang memenuhi kriteria tersebut diindikasikan merupakan urusan daerah. Pada Tabel. I, Tabel. II dan Tabel. III merupakan contoh analisa atas satu kementerian dengan menghilangkan nama kementerian namun tetap menunjukan contoh program/kegiatan yang terindikasi melaksanakan urusan daerah. Ketiga tabel merupakan contoh dari program/kegiatan kementerian yang terindikasi semua kriteria analisa.






Rekomendasi Kebijakan

Ilustrasi
Dari pembahasan pada bagian kedua dan bagian ketiga sudah terlihat jelas benang merah yang dapat dijadikan pijakan dalam menyusun kebijakan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK. Dengan kompleksitas yang tinggi dari proses pengalihan ini karena melibatkan cita-cita besar bangsa Indonesia yang lebih terdesentralisasi mengingat kemajemukan yang ada, legislatif pusat dan daerah, eksekutif pusat dan daerah dan perangkat aturan yang kompleks maka rekomendasi kebijakan yang disusun adalah kebijakan yang sifatnya makro-holistik, dan mikro-teknis. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK:

  1. Yang mutlak harus segera dilaksanakan adalah penyusunan kembali ataupun penegasan kembali pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah. Ini cukup beralasan karena dengan belum rampungnya pembagian urusan maka masalah tumpang tindih pelaksanaan urusan dan pendanaan masih terus terjadi. 
  2. Pengukuran kinerja atas kontrak kinerja antara kementerian dengan presiden atas urusan yang merupakan urusan daerah dapat diselesaikan dengan pembagian tugas yang spesifik sehingga ada kejelasan siapa mengerjakan apa dan ukuran kinerja dapat diukur. Sebagai contoh kementerian/lembaga menyusun rencana target urusan dan melakukan evaluasi atas pencapaian yang menjadi ukuran kinerja. Kemudian daerah mengeksekusi rencana sampai mencapai target yang ditentukan. Setelah pengalihan yang harus juga dilaksanakan adalah pendampingan ke daerah untuk melakukan bimbingan teknis dan penguatan aparatur. 
  3. Sinkronisasi dengan proses revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang tengah berlangsung dengan maksud agar diketahui apakah memang sudah ada alternatif solusi kemana arah pengalihan kegiatan dekonsentrasi yang sifatnya berbeda dengan kegiatan sifat kegiatan DAK serta ketentuan dana pendamping dalam skema DAK. Apakah dimungkinkan adanya DAK yang bersifat non fisik untuk menampung kegiatan dekonsentrasi yang bersifat non fisik serta ketentuan dana pendamping.
  4. Dari serangkaian proses pengalihan, juga terindikasi perlu adanya proses penertiban kegiatan kementerian/lembaga apakah masih melaksanakan urusan yang merupakan urusan daerah yang melibatkan Kemenkeu, Kemenneg PPN/Bappenas dan Kemendagri dengan alat PP No. 38/2007. 
  5. Yang menjadi catatan adalah untuk kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah namun tidak dapat dialihkan ke DAK karena terbentur aturan bidang DAK yang dibatasi maka dapat disimpulkan jika sudah merupakan urusan daerah maka daerah didorong untuk membiayai kegiatan tersebut yang apabila memungkinkan dapat disinkronkan dengan komitmen pemerintah untuk memperbesar dana desentraslisasi.