Thursday 19 September 2013

Brain Drain



BRAIN DRAIN

Beny Trias Oktora
Economist Wanna Be.....


Apa itu Brain Drain?


The Free Dictionary (http://www.thefreedictionary.com/brain+drain) mendefinisikan brain drain: "The loss of skilled intellectual and technical labor through the movement of such labor to more favorable geographic, economic, or professional environments". Jika diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia maka brain drain / hijrahnya sarjana keluar institusi atau ke luar negeri adalah kerugian atas sumber daya manusia (SDM) /tenaga kerja yang mempunyai keahlian intelektual dan teknik melalui berpindahnya tenaga kerja dimaksud menuju tempat kerja yang menjadi pilihan karena alasan geografis, ekonomi ataupun lingkungan yang profesional. Dari terjemahan itu tergambar jelas beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa bisa terjadi brain drain. Yang perlu diulas adalah daya tarik geografis entah di dalam negeri maupun di luar negeri. Kemudian keekonomian di tempat awal tidak memadai. Terakhir yang paling krusial ada lingkungan yang profesional yang bisa menjamin nilai keekonomian tenaga kerja dan biasanya nilai keekonomian berkolerasi positif dengan goegrafis.

Alasan Kenapa Brain Drain Terjadi


Pertama, letak/kondisi geografis kota besar atau metropolitan menawarkan fasilitas nomor satu mulai fasilitas kesehatan, fasiltas pendidikan, fasiltas perumahan ataupun fasiltas hiburan. Tenaga kerja yang keahlian intelektual dan teknisnya memadai atau di atas rata-rata tentu mempunyai daya tawar tersendiri dengan modal yang mereka punya. Semisal seorang akuntan yang berpengalaman akan dengan mudah mencari pekerjaan yang ada di kota besar di dalam negeri ataupun di luar negeri yang menjadi pusat perekonomian. Dibanding jika akuntan tetap tinggal di kota kecil yang denyut ekonominya tidak terasa apalagi tinggal di desa yang mengandalkan sektor pertanian.




Kedua adalah faktor ekonomi. Jelas terlihat bahwa SDM yang memiliki keahlian intelektual dan teknis ingin mengejar manfaat ekonomi yang bisa diperoleh. Di era dimana setiap individu mempunyai kebebasan untuk mencari keuntungan yang besar dari keahliannya akan sangat naif jika ada individu hanya berkata "saya bekerja karena pengabdian". Ini bisa menjadi sinyal seseorang menginginkan jauh lebih besar dari yang bisa didapatkan dengan cara-cara yang "gelap", "terselubung", "tidak ketara" ataupun "merusak".

Yang terakhir menjadi sangat penting dan bersifat keseluruhan adalah lingkungan kerja yang profesional. Lingkungan kerja yang profesional memencarkan tempat kerja yang baik dan nilai keekonomian. Jarang kita dengar ada lingkungan kerja yang profesional berlokasi di tempat kerja yang kumuh, jelek, pengap, bau dan predikat lainnya yang tidak mengenakan. Perusahaan besar berkebutuhan untuk membangun lingkungan kerja yang profesional untuk menjamin proses bisnis mereka berjalan dengan sangat baik semisal siapa mengerjakan apa, siapa yang patut dipromosikan, siapa yang mendapat gaji lebih besar siapa yang gajinya kecil, dan contoh lainnya. Letak geografis dari perusahaan yang menerapkan lingkungan yang profesional sangat sering berada di kota besar/kota metropolitan. Nilai keekonomian erat sekali dengan lingkungan kerja yang profesional. Misal, pekerjaan yang menuntut profesionalisme mempunyai sistem penggajian yang memadai semisal profesi ekonom, bankir ataupun pegawai pemerintah di negara-negara yang memang serius membangun organisasi pemerintah yang profesional.



Kesempatan untuk Evaluasi dan Resolusi


Ancaman larinya SDM unggul ke luar organisasi atau dalam kasus yang lebih buruk ke luar negeri karena alasan geografis, ekonomi dan lingkungan kerja yang profesional menjadi bahan evaluasi dan resolusi bagi suatu organisasi. Ada dua kemungkinan mengapa ini terjadi di suatu organisasi:
  1. Organisasi tersebut memang sudah tidak kompetitif dari banyak sisi utamanya adalah dari nilai ekonomi dan nilai profesionalisme;
  2. Organisasi tersebut mempunyai keunggulan yang banyak hal hanya saja SDM yang ada tetap keluar karena memang ingin mencari organisasi yang jauh lebih unggul.
Ancaman brain drain menjadi peluang bagi suatu organisasi untuk memperbaiki diri bukan malah menenggelamkan diri ataupun bersifat ultra defensive dalam artian menebar ancaman kepada siapa saja yang bertindak brain drain. Sikap ultra defensive menjadi kerugian besar bagi organisasi karena perlawanan akan makin keras dilakukan oleh sumber daya manusia yang ada.

Selanjutnya, saya mengambil organisasi pemerintah sebagai studi kasus dikarenakan organisasi pemerintah sering ditinggal SDM yang unggul. Mengapa? Karena sistem yang dibangun organisasi pemerintah jauh dari nilai keekonomian serta nilai profesionalisme yang menjadi preferensi SDM. Dengan contoh kasus organisasi pemerintah, analisa atas oportunitas untuk mengevaluasi dan mencari solusi baru atas permasalahan brain drain menjadi mudah untuk dihadirkan.  

Studi Kasus Kecil: Sistem Pengembangan Karir Organisasi Pemerintah Untuk Mencegah Brain Drain


Peran pemerintah selalu dinanti baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang apalagi di negara-negara miskin. Sehingga secara harfiah organisasi pemerintah berperan sangat vital dalam banyak hal. Kuncinya adalah adanya barang publik yang tidak bisa disediakan oleh swasta karena tidak men generate keuntungan karena tidak ada perlawanan atas penggunaannya semua berhak memakainya. Sehingga dengan peran sebagai regulator organisasi pemerintah terlihat bernilai. Hanya perilaku organisasi yang tidak baik menenggelamkan nilai itu. Termasuk di dalamnya pengelolaan SDM yang buruk dan pengembangan karir yang tidak jelas. 

Mungkin sudah menjadi kemakluman jika kita mendengar bahwa "ongkos" pengembangan karir bagi SDM di organisasi pemerintah tidak terlihat secara ketara. Investasi yang dilakukan pegawai pemerintah untuk pengembangan karirnya tidak tertulis di dokumen cetak biru atau road map pengembangan karir di bagian SDM. Ditambah juga sistem atau cara pengembangan karir juga tidak terlihat kalaupun ada tetap menjadi pertanyaan bagaimana implementasinya/penerapannya. Yang mencolok dari sistem pengembangan karir SDM organisasi pemerintah adalah deviasi yang sangat jauh yakni idiom "like and dislike" dan "sistem urut kacang". Dengan "deviasi" dari "rata-rata" yang besar dari pengembangan karir yang wajar maka ini menjadi pemicu bagi SDM di organisasi pemerintah untuk keluar.

Dalam pengembangan karir memang ada "ongkos" yang harus diinvestasikan setiap orang agar karirnya berkembang. Ongkos yang diinvestasikan tentunya bukan dengan mengeluarkan uang secara langsung kepada organisasi apalagi kepada pejabat organisasi. Akumulasi dana yang dikeluarkan seseorang dalam bentuk biaya menempuh pendidikan tinggi ataupun mengikuti pelatihan profesional yang sejalan dengan bidang kerja organisasi. Kementerian Pekerjaan Umum akan tertolong dengan banyaknya SDM mereka yang menempuh pendidikan tinggi sampai dengan tingkat strata 3 di bidang konstruksi bangunan dan sejenisnya karena akan membantu mencapai kinerja yang ditetapkan. 

Organisasi yang terbantu dengan SDM yang unggul secara normal akan memberikan insentif berupa pengembangan karir ataupun insentif penggajian. Bagaimanakah idealnya sistem pengembangan karir di organisasi pemerintah? Saya mencoba merumuskan dengan menggabungkan beberapa faktor utama dari potensi setiap SDM yang dapat menyumbangkan kesuksesan bagi organisasi pemerintah, sebagai berikut:
  1. SDM yang layak mendapatkan insentif baik dalam bentuk promosi maupun penggajian yang lebih baik dihitung dari pendidikan yang ditempuh dan sejalan dengan bidang kerja organisasi. Misal A berpendidikan strata 1 dan strata 2 dalam bidang konstruksi bangunan di Kementerian Pekerjaan Umum mempunyai kredit yang tinggi untuk dipromosikan.
  2. Kemampuan manajerial juga memainkan peran penting dalam menjalankan roda organisasi. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang dalam berbagai proyek yang sukses ataupun berjalan baik. Yang populer saat ini disebut soft skills.
  3. Juga penting untuk menilai kemampuan keseluruhan oleh konsultan SDM yang ahli untuk menilai kemampuan hard dan soft skills.
Namun, saya memiliki kecenderungan untuk melihat sistem pengembangan karir dengan menggabungkan seluruh faktor bukan semata pada poin ketiga. Melainkan keseluruhan harus menjadi bagian yang integral untuk pengembangan karir pada organisasi pemerintah. Karena apabila yang dipakai hanya poin ketiga maka hard skills yang nyata-nyata dipelajari di universitas dengan penilaian yang mencakup kemampuan menulis paper sekelas term paper, kemampuan presentasi di muka umum atas tugas-tugas dan evaluasi oleh profesor/dosen menjadi tidak berarti. Padahal selama menjalani pendidikan di universitas mahasiswa mengimplementasikan kemampuan mengelola kuliah dan kehidupan mereka sehingga semua berjalan seimbang. Juga perlu diketahui banyak SDM organisasi pemerintah bersusah payah menempuh kuliah di luar negeri dengan target tinggi serta beban moral yang tidak kalah mengerikan. Sehingga menjadi kewajaran bahwa mereka mempunyai preferensi untuk dinominasikan karena tantangan yang berat selama kuliah di luar negeri. 

Begitu juga jika ada pegawai yang belum pernah terlibat dalam pekerjaan besar di organisasi dan hanya terlibat kegiatan yang sifatnya administratif tanpa target yang jelas dengan kata lain hanya bekerja rutin serta tidak signifikan terlibat dalam pekerjaan besar yang substantif akan menghasilkan kesalahan pengembangan karir yang fatal. Karena pemerintah menjalankan peran yang vital di negara berkembang  dimana dituntut responsif dan cepat bukan lagi "saya akan cepat belajar" melainkan "saya akan mengeksekusi hal ini".


Kombinasi ketiga faktor sangat krusial untuk dijalankan agar organisasi pemerintah memberdayakan SDM yang benar-benar unggul sebagai pemimpin yang cepat mengeksekusi serta cakap di keilmuan bidang kerja, terbukti terlibat dalam pekerjaan organisasi dan cakap dalam hal manajerial. Sistem pengembangan yang terbuka serta mengutamakan kemampuan keilmuan, pengalaman dan kecakapan dapat membantu organisasi untuk mencegah brain drain. Karena banyak SDM yang unggul di organisasi mengandalkan sistem terbuka mengingat sedari universitas mereka terbiasa dengan sistem terbuka yang bertumpu pada penilaiannya yang objektif dibanding sebaliknya. Jika akses SDM yang unggul tertutup untuk mengembangkan karir di organisasi pemerintah dan berlanjut terus organisasi pemerintah akan rugi karena banyak dari pegawainya akan memilih keluar mencari kesempatan yang lebih baik. 

Pendapat Akhir 


Sistem pengembangan karir organisasi pemerintah yang terbuka, objektif dan kompetitif membantu pencapaian visi dan misi mereka sendiri. Pemilihan SDM yang unggul sebagai pimpinan organisasi memudahkan organisasi bergerak cepat dan responsif. SDM yang usang akibat keluar dari organisasi pemerintah brain drain dapat dicegah dengan menerapkan kompetisi diantara SDM sehingga deviasi adanya SDM kelas "kambing" yang sifatnya "urut kacang" dan idiom "likes and dislikes" secara bertahap dapat dikurangi. Momentum evaluasi dan resolusi atas pengelolaan SDM dapat terlaksana dengan mengedepankan sistem pengembangan karir yang terbuka, objektif dan kompetitif.

Bukan sedang galau tapi berusaha tetap jernih. Semoga bermanfaat. Salam.