Thursday, 19 September 2013

Brain Drain



BRAIN DRAIN

Beny Trias Oktora
Economist Wanna Be.....


Apa itu Brain Drain?


The Free Dictionary (http://www.thefreedictionary.com/brain+drain) mendefinisikan brain drain: "The loss of skilled intellectual and technical labor through the movement of such labor to more favorable geographic, economic, or professional environments". Jika diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia maka brain drain / hijrahnya sarjana keluar institusi atau ke luar negeri adalah kerugian atas sumber daya manusia (SDM) /tenaga kerja yang mempunyai keahlian intelektual dan teknik melalui berpindahnya tenaga kerja dimaksud menuju tempat kerja yang menjadi pilihan karena alasan geografis, ekonomi ataupun lingkungan yang profesional. Dari terjemahan itu tergambar jelas beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa bisa terjadi brain drain. Yang perlu diulas adalah daya tarik geografis entah di dalam negeri maupun di luar negeri. Kemudian keekonomian di tempat awal tidak memadai. Terakhir yang paling krusial ada lingkungan yang profesional yang bisa menjamin nilai keekonomian tenaga kerja dan biasanya nilai keekonomian berkolerasi positif dengan goegrafis.

Alasan Kenapa Brain Drain Terjadi


Pertama, letak/kondisi geografis kota besar atau metropolitan menawarkan fasilitas nomor satu mulai fasilitas kesehatan, fasiltas pendidikan, fasiltas perumahan ataupun fasiltas hiburan. Tenaga kerja yang keahlian intelektual dan teknisnya memadai atau di atas rata-rata tentu mempunyai daya tawar tersendiri dengan modal yang mereka punya. Semisal seorang akuntan yang berpengalaman akan dengan mudah mencari pekerjaan yang ada di kota besar di dalam negeri ataupun di luar negeri yang menjadi pusat perekonomian. Dibanding jika akuntan tetap tinggal di kota kecil yang denyut ekonominya tidak terasa apalagi tinggal di desa yang mengandalkan sektor pertanian.




Kedua adalah faktor ekonomi. Jelas terlihat bahwa SDM yang memiliki keahlian intelektual dan teknis ingin mengejar manfaat ekonomi yang bisa diperoleh. Di era dimana setiap individu mempunyai kebebasan untuk mencari keuntungan yang besar dari keahliannya akan sangat naif jika ada individu hanya berkata "saya bekerja karena pengabdian". Ini bisa menjadi sinyal seseorang menginginkan jauh lebih besar dari yang bisa didapatkan dengan cara-cara yang "gelap", "terselubung", "tidak ketara" ataupun "merusak".

Yang terakhir menjadi sangat penting dan bersifat keseluruhan adalah lingkungan kerja yang profesional. Lingkungan kerja yang profesional memencarkan tempat kerja yang baik dan nilai keekonomian. Jarang kita dengar ada lingkungan kerja yang profesional berlokasi di tempat kerja yang kumuh, jelek, pengap, bau dan predikat lainnya yang tidak mengenakan. Perusahaan besar berkebutuhan untuk membangun lingkungan kerja yang profesional untuk menjamin proses bisnis mereka berjalan dengan sangat baik semisal siapa mengerjakan apa, siapa yang patut dipromosikan, siapa yang mendapat gaji lebih besar siapa yang gajinya kecil, dan contoh lainnya. Letak geografis dari perusahaan yang menerapkan lingkungan yang profesional sangat sering berada di kota besar/kota metropolitan. Nilai keekonomian erat sekali dengan lingkungan kerja yang profesional. Misal, pekerjaan yang menuntut profesionalisme mempunyai sistem penggajian yang memadai semisal profesi ekonom, bankir ataupun pegawai pemerintah di negara-negara yang memang serius membangun organisasi pemerintah yang profesional.



Kesempatan untuk Evaluasi dan Resolusi


Ancaman larinya SDM unggul ke luar organisasi atau dalam kasus yang lebih buruk ke luar negeri karena alasan geografis, ekonomi dan lingkungan kerja yang profesional menjadi bahan evaluasi dan resolusi bagi suatu organisasi. Ada dua kemungkinan mengapa ini terjadi di suatu organisasi:
  1. Organisasi tersebut memang sudah tidak kompetitif dari banyak sisi utamanya adalah dari nilai ekonomi dan nilai profesionalisme;
  2. Organisasi tersebut mempunyai keunggulan yang banyak hal hanya saja SDM yang ada tetap keluar karena memang ingin mencari organisasi yang jauh lebih unggul.
Ancaman brain drain menjadi peluang bagi suatu organisasi untuk memperbaiki diri bukan malah menenggelamkan diri ataupun bersifat ultra defensive dalam artian menebar ancaman kepada siapa saja yang bertindak brain drain. Sikap ultra defensive menjadi kerugian besar bagi organisasi karena perlawanan akan makin keras dilakukan oleh sumber daya manusia yang ada.

Selanjutnya, saya mengambil organisasi pemerintah sebagai studi kasus dikarenakan organisasi pemerintah sering ditinggal SDM yang unggul. Mengapa? Karena sistem yang dibangun organisasi pemerintah jauh dari nilai keekonomian serta nilai profesionalisme yang menjadi preferensi SDM. Dengan contoh kasus organisasi pemerintah, analisa atas oportunitas untuk mengevaluasi dan mencari solusi baru atas permasalahan brain drain menjadi mudah untuk dihadirkan.  

Studi Kasus Kecil: Sistem Pengembangan Karir Organisasi Pemerintah Untuk Mencegah Brain Drain


Peran pemerintah selalu dinanti baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang apalagi di negara-negara miskin. Sehingga secara harfiah organisasi pemerintah berperan sangat vital dalam banyak hal. Kuncinya adalah adanya barang publik yang tidak bisa disediakan oleh swasta karena tidak men generate keuntungan karena tidak ada perlawanan atas penggunaannya semua berhak memakainya. Sehingga dengan peran sebagai regulator organisasi pemerintah terlihat bernilai. Hanya perilaku organisasi yang tidak baik menenggelamkan nilai itu. Termasuk di dalamnya pengelolaan SDM yang buruk dan pengembangan karir yang tidak jelas. 

Mungkin sudah menjadi kemakluman jika kita mendengar bahwa "ongkos" pengembangan karir bagi SDM di organisasi pemerintah tidak terlihat secara ketara. Investasi yang dilakukan pegawai pemerintah untuk pengembangan karirnya tidak tertulis di dokumen cetak biru atau road map pengembangan karir di bagian SDM. Ditambah juga sistem atau cara pengembangan karir juga tidak terlihat kalaupun ada tetap menjadi pertanyaan bagaimana implementasinya/penerapannya. Yang mencolok dari sistem pengembangan karir SDM organisasi pemerintah adalah deviasi yang sangat jauh yakni idiom "like and dislike" dan "sistem urut kacang". Dengan "deviasi" dari "rata-rata" yang besar dari pengembangan karir yang wajar maka ini menjadi pemicu bagi SDM di organisasi pemerintah untuk keluar.

Dalam pengembangan karir memang ada "ongkos" yang harus diinvestasikan setiap orang agar karirnya berkembang. Ongkos yang diinvestasikan tentunya bukan dengan mengeluarkan uang secara langsung kepada organisasi apalagi kepada pejabat organisasi. Akumulasi dana yang dikeluarkan seseorang dalam bentuk biaya menempuh pendidikan tinggi ataupun mengikuti pelatihan profesional yang sejalan dengan bidang kerja organisasi. Kementerian Pekerjaan Umum akan tertolong dengan banyaknya SDM mereka yang menempuh pendidikan tinggi sampai dengan tingkat strata 3 di bidang konstruksi bangunan dan sejenisnya karena akan membantu mencapai kinerja yang ditetapkan. 

Organisasi yang terbantu dengan SDM yang unggul secara normal akan memberikan insentif berupa pengembangan karir ataupun insentif penggajian. Bagaimanakah idealnya sistem pengembangan karir di organisasi pemerintah? Saya mencoba merumuskan dengan menggabungkan beberapa faktor utama dari potensi setiap SDM yang dapat menyumbangkan kesuksesan bagi organisasi pemerintah, sebagai berikut:
  1. SDM yang layak mendapatkan insentif baik dalam bentuk promosi maupun penggajian yang lebih baik dihitung dari pendidikan yang ditempuh dan sejalan dengan bidang kerja organisasi. Misal A berpendidikan strata 1 dan strata 2 dalam bidang konstruksi bangunan di Kementerian Pekerjaan Umum mempunyai kredit yang tinggi untuk dipromosikan.
  2. Kemampuan manajerial juga memainkan peran penting dalam menjalankan roda organisasi. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang dalam berbagai proyek yang sukses ataupun berjalan baik. Yang populer saat ini disebut soft skills.
  3. Juga penting untuk menilai kemampuan keseluruhan oleh konsultan SDM yang ahli untuk menilai kemampuan hard dan soft skills.
Namun, saya memiliki kecenderungan untuk melihat sistem pengembangan karir dengan menggabungkan seluruh faktor bukan semata pada poin ketiga. Melainkan keseluruhan harus menjadi bagian yang integral untuk pengembangan karir pada organisasi pemerintah. Karena apabila yang dipakai hanya poin ketiga maka hard skills yang nyata-nyata dipelajari di universitas dengan penilaian yang mencakup kemampuan menulis paper sekelas term paper, kemampuan presentasi di muka umum atas tugas-tugas dan evaluasi oleh profesor/dosen menjadi tidak berarti. Padahal selama menjalani pendidikan di universitas mahasiswa mengimplementasikan kemampuan mengelola kuliah dan kehidupan mereka sehingga semua berjalan seimbang. Juga perlu diketahui banyak SDM organisasi pemerintah bersusah payah menempuh kuliah di luar negeri dengan target tinggi serta beban moral yang tidak kalah mengerikan. Sehingga menjadi kewajaran bahwa mereka mempunyai preferensi untuk dinominasikan karena tantangan yang berat selama kuliah di luar negeri. 

Begitu juga jika ada pegawai yang belum pernah terlibat dalam pekerjaan besar di organisasi dan hanya terlibat kegiatan yang sifatnya administratif tanpa target yang jelas dengan kata lain hanya bekerja rutin serta tidak signifikan terlibat dalam pekerjaan besar yang substantif akan menghasilkan kesalahan pengembangan karir yang fatal. Karena pemerintah menjalankan peran yang vital di negara berkembang  dimana dituntut responsif dan cepat bukan lagi "saya akan cepat belajar" melainkan "saya akan mengeksekusi hal ini".


Kombinasi ketiga faktor sangat krusial untuk dijalankan agar organisasi pemerintah memberdayakan SDM yang benar-benar unggul sebagai pemimpin yang cepat mengeksekusi serta cakap di keilmuan bidang kerja, terbukti terlibat dalam pekerjaan organisasi dan cakap dalam hal manajerial. Sistem pengembangan yang terbuka serta mengutamakan kemampuan keilmuan, pengalaman dan kecakapan dapat membantu organisasi untuk mencegah brain drain. Karena banyak SDM yang unggul di organisasi mengandalkan sistem terbuka mengingat sedari universitas mereka terbiasa dengan sistem terbuka yang bertumpu pada penilaiannya yang objektif dibanding sebaliknya. Jika akses SDM yang unggul tertutup untuk mengembangkan karir di organisasi pemerintah dan berlanjut terus organisasi pemerintah akan rugi karena banyak dari pegawainya akan memilih keluar mencari kesempatan yang lebih baik. 

Pendapat Akhir 


Sistem pengembangan karir organisasi pemerintah yang terbuka, objektif dan kompetitif membantu pencapaian visi dan misi mereka sendiri. Pemilihan SDM yang unggul sebagai pimpinan organisasi memudahkan organisasi bergerak cepat dan responsif. SDM yang usang akibat keluar dari organisasi pemerintah brain drain dapat dicegah dengan menerapkan kompetisi diantara SDM sehingga deviasi adanya SDM kelas "kambing" yang sifatnya "urut kacang" dan idiom "likes and dislikes" secara bertahap dapat dikurangi. Momentum evaluasi dan resolusi atas pengelolaan SDM dapat terlaksana dengan mengedepankan sistem pengembangan karir yang terbuka, objektif dan kompetitif.

Bukan sedang galau tapi berusaha tetap jernih. Semoga bermanfaat. Salam.
       

Tuesday, 16 July 2013

Kisruh Kuota Impor Sapi: Bukti Tesis Perdagangan Bebas?


Harga Daging sapi Indonesia Termahal di Dunia!
Beny Trias Oktora
an economist wanna be...

Memang bisa dimaklumi bahwa setiap negara punya visi untuk memajukan industrinya. Dengan semangat itu setiap negara akan membuat kebijakan yang arahnya menguntungkan industri dalam negeri. Bagaimana arah kebijakan pemerintah dalam rangka memajukan industri dalam negeri? Tentu di awal anak tangga pertama adalah dengan memanjakan industri yang sifatnya padat tenaga kerja serta berteknologi sederhana semisal tekstil, manufaktur produk minuman dan makanan dan industri sejenisnya. Hal ini disesuaikan dengan sifat dasar pengembangan perekonomian suatu negara yang pola banyak diadopsi sepanjang pembangunan ekonomi. Saya merujuk bagaimana revolusi industri di Inggris dimulai dengan pengembangan tekstil. Serta pola-pola yang diterapkan oleh negara-negara Asia Timur semisal Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan dan tentunya Indonesia. Begitu seterusnya mengikuti tingkat kesulitan dari industri di anak tangga selanjutnya.

Beberapa negara memang diuntungkan dengan memproteksi industri dalam negeri sehingga dalam kurun waktu tertentu akan memajukan industri dalam negeri sehingga dapat dilepas tanpa proteksi. Di sisi yang bertolak belakang ada negara yang berlarut-larut dalam kekisruhan dengan dalih perlindungan industri dalam negeri. Siapa yang akan mendapatkan "pain" jauh lebih besar dari kebijakan proteksi industri dalam negeri? Tentunya adalah konsumen.

Dengan merujuk pada ketentuan WTO dimana negara-negara di dunia ketiga punya masa tertentu untuk tetap memproteksi industri dalam negeri sampai industri dalam negeri itu bisa berkompetisi dengan peer nya dari negara lain, dapat diperkirakan bahwa masa transisi untuk menyiapkan industri dalam negeri tangguh menghadapi persaingan dengan peer - nya dari negara lain merupakan masa-masa krusial. Banyak "tangan" yang akan turut serta merubah peta alokasi. Ini dapat dideteksi lebih awal karena model-model proteksi bukan merupakan model baru melainkan permainan lama yang sudah banyak dipelajari dan dibukukan di fakultas-fakultas ekonomi. Pasar yang awal terbuka bisa diakses oleh siapa saja dengan adanya proteksi maka impor barang dibatasi maka akan memunculkan kelangkaan barang dan siapa saja yang boleh mengimpor. 

Dampak yang akan segera terasa tentunya adalah kelangkaan barang karena adanya pembatasan barang. Lalu pembatasan impor dilakukan dengan memberi beberapa perusahaan "jatah" impor. Lebih jauh lagi, terbatasnya barang akan menaikan harga. Bagaimana menentukan "jatah" impor kepada perusahaan importir? Pengelolaan pembatasan impor yang tidak canggih akan menambah "pain" yang jauh lebih besar. Harga yang terkerek naik ditambah perilaku korup dari penyelenggara negara merupakan kombinasi yang merusak perekonomian.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, apakah perdagangan bebas menunjukan bukti dengan kisruh daging sapi dengan memperlihatkan bukti pertama bahwa perdagangan yang dibatasi merugikan konsumen lalu tingkah korup dari penyelenggara negara? Sebaiknya penulis menguraikannya secara jernih satu per satu. Tesis perdagangan bebas menekankan bahwa pembatasan perdagangan menaikan harga karena negara membatasi pasokan barang yang tidak bisa mereka produksi dari dalam negeri sementara konsumsi pada level yang sama akan mendorong harga naik. Dengan mekanisme apapun, harga-harga akan terkerek naik. Harga daging sapi (saat penulis meng edit tulisan ini) masih di tingkat harga Rp. 100.000 http://finance.detik.com/read/2013/07/17/125826/2305471/4/harga-daging-tembus-rp-120-ribu-cabai-turun-jadi-rp-80-ribu-di-grogol?f9911023 yang sebelumnya dikisaran Rp. 50.000. Adapun dampak pengelolaan yang salah karena mental aji mumpung juga terjadi jika kita membaca berita penyelenggara negara yang terlibat suap dari pengelolaan kuota daging sapi impor ini.

Penulis berargumen bahwa tesis perdagangan bebas sepenunya terbukti dari kisruh pembatasan daging sapi impor bahwa pembatasan barang dengan dalih apapun akan menaikan harga barang karena alasan yang  sederhana yaitu kelangkaan barang disaat yang bersamaan industri dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhannya. Dampak ikutan terjadi karena sistem pembatasan kuota impor tidak dibuat dengan baik sehingga banyak "tangan" yang terlibat hanya untuk mencari "rente". Semoga bermanfaat.

Thursday, 14 February 2013

Perempuan dan Pertumbuhan Ekonomi

Christine Lagarde Executive Director IMF 

Beny Trias Oktora

Economist Wanna Be

Topik perempuan dan pertumbuhan ekonomi adalah topik tulisan yang mempunyai daya tarik yang cukup besar. Kenapa? Dengan jargon usang yang mendiskreditkan perempuan jelas potensi perempuan untuk pertumbuhan ekonomi akan mematahkan argumentasi usang termakan waktu dan modernitas. Ini sejalan dengan adanya upaya besar yang ditunjukan oleh dunia untuk menarik perempuan ke dalam pusara besar semua sisi kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Berbagi peran untuk dunia yang lebih baik membutuhkan semua gender. 

Dengan jumlah yang hampir seimbang dengan komposisi perempuan dan pria dalam komposisi penduduk Indonesia yang angkatan kerjanya masih didominasi oleh pria tentu akan terlihat jelas bagaimana potensi perempuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Potensi ini tidak bisa lagi dikaburkan dengan kebijakan-kebijakan diskriminatif dalam bentuk apapun. Jauh lebih penting adalah negara tidak boleh kembali kalah oleh agenda-agenda sempit diskriminatif dari lembaga-lembaga yang mengatasnamakan agama serta pandangan sempit.

Daya dobraknya akan lebih besar lagi jika partisipasi perempuan diimbangi dengan kenaikan kemampuan pendidikan dan kemampuan perempuan yang setara dengan pria. Sehingga ceruk yang bisa diisi akan penuh oleh dua kekuatan tenaga kerja dari perempuan dan pria. Model yang bisa dikembangkan adalah dengan memecah faktor pertumbuhan ekonomi per sub tenaga kerja dan bagaimana kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi. 

Demikian bagaimana mengilustrasikan potensi perempuan dalam pertumbuhan ekonomi. Semoga bermanfaat. 
    

Catatan Ringan: Pak Satpam, Yes Man dan 12-12-12


oleh Beny Trias Oktora
an Economist Wanna Be...

Pagi itu tanggal 12 Desember 2012 pukul 4.30 WIB kami sudah terbangun untuk memulai aktivitas hari itu di mulai dengan sholat subuh. Di musim hujan yang sudah mulai menampakan batang hidungnya membawa banyak gegremetan yang mengganggu anak balita termasuk anak balita kami. Belum sembuh benar batuk akibat banyak meminum air es di tempat Akung dan Uti mereka anak bungsu kami harus terserang diare. Selepas solat subuh, saya pun menuju apotek yang buka 24 jam untuk membeli obat diare penawar gegremetan yang merusak sistem digestik perut balita. 

Menuju apotek di pintu gerbang perumahan kami di bilangan Bintara terlihat Pak Satpam yang sedang duduk istirahat selepas piket malam. Saya menyapa dengan anggukan kepala begitu juga Pak Satpam mengangguk. Obat pencegah flu dan pilek telah didapat dari Apotek di depan perumahan kami, saya pun bergegas untuk mandi sarapan pagi dan berangkat ke kantor dengan sepeda motor. Pagi yang masih terasan dingin pukul 06.00 WIB saya berangkat ke kantor dan cukup mengejutkan Pak Satpam yang sudah selesai piket malam di depan gerbang perumahan melewati rumah kami dia pun menyapa kembali kali ini dengan suara "Pak" saya pun menjawabnya dengan sapaan "Pak". Sepeda motor saya keluarkan dan kembali berpapasan dengan Pak Satpam yang sejak pagi buta saya bersua dengannya. Papasan kali ini berbeda tanpa basa basi Pak Satpam langsung memberhentikan saya dan berkata "Bapak lewat mana" saya jawab "Lewat jalan yang arah ke Pondok Kelapa". Untuk menegaskan kembali bahwa arah sepeda motor saya sama dengan arah tujuan Pak Satpam, dia menimpali "Bapak lewat Kantor Pos?". Saya berpikir kembali sambil bergumam dalam hati "Kantor Pos?". Sebelum saya menjawab Pak Satpam langsung menimpali "Baso Ojolali". Nah jika soal Baso Ojolali saya mesti paham langsung saya jawab "Iya lewat sana Pak". Pak Satpam langsung bertanya "Apakah saya boleh menumpang Pak?". Dengan cepat dan teringat film yang di bintangi Jim Carey berjudul "Yes Man" saya langsung jawab "Boleh Pak".

Saya bersyukur di saat tanggal yang menarik itu yaitu 12-12-2012 bisa membantu Pak Satpam dengan spontanitas ala Yes Man yang dalam film diberkahi banyak kebaikan setelah tidak berkata "NO" atas setiap ajakan kepadanya. 

Thursday, 18 October 2012

Nobel Ekonomi Tahun 2012 dan Alokasi Dana Desentralisasi


oleh Beny Trias Oktora
Economist wanna be....

Roth dan Shapley yang baru saja memperoleh Nobel Ekonomi Tahun 2012 telah lama bergulat dengan teori yang mencoba untuk menjadikan Ilmu Ekonomi yang non eksakta menjadi ilmu yang menghasilkan teori yang membumi dan dapat diaplikasi dalam kehidupan nyata. Teori mereka merupakan pengembangan dari game theory di bawah kondisi kooperatif dan non kooperatif serta non zero sum game (yang lebih dulu dikembangkan oleh Nash yang juga memenangi Nobel Ekonomi serta difilmkan dalam "Beautiful Mind") dengan penekanan pada bagaimana alokasi sumber daya dari beberapa agen yang berkoalisi untuk menghasilkan imbalan yang stabil sehingga tidak ada bentuk koalisi yang bisa menandingi koalisi yang sudah terbentuk sebelumnya. Mereka menamakan "the theory of stable allocations and the practice of market design". Misal ada Andri, Beta dan Cipto sebagai konsultan pajak yang masing-masing secara berurutan menghasilkan imbalan Rp. 100, Rp. 150 dan Rp. 90 dalam satu bulan atas jasa konsultansi pajak. Jika disederhanakan bahwa dengan berkoalisi mereka akan mendapatkan masing-masing Rp. 110, Rp. 160 dan Rp. 100 dengan tidak ada bentuk koalisi yang bisa menghasilkan balas jasa yang sebagus koalisi ini maka kondisi ini disebut alokasi yang stabil. Disamping itu, mereka juga membangun teori untuk mendesain pasar yang lebih praktis dengan membuang asumsi ke homogen an pasar karena banyak pasar dengan barang yang sifatnya hetrogen.    

Saya sudah menyinggung bahwa teori mereka sudah bisa membumi dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Benar adanya bahwa pengaplikasian teori ini sudah digunakan oleh rumah sakit untuk mempertemukan antara dokter dan pasien, sekolah kedokteran untuk mempertemukan sekolah dengan calon siswa yang tepat dengan sekolah sehingga angka drop out  menurun dan mempertemukan antara pendonor organ dan penerima donor organ. Sehingga dalam pandangan saya ini memang mereka layak untuk mendapatkan Nobel Ekonomi Tahun 2012 dalam hal bahwa teori mereka memang aplikatif.   

Jika dikaitkan dengan pengalokasian dana desentralisasi yang bisa memuaskan daerah dan pemerintah sekiranya model yang dibangun oleh Roth dan Shapley diperlukan pengembangan lebih luas lagi karena memang menyangkut banyak agen i.e. pemerintah pusat, pemerintah daerah dan DPR selaku pemegang Hak Bujeter. Dalam konstelasi hubungan tripartit dimana DPR dan pemerintah daerah dapat berkoalisi untuk mencapai imbal hasil yang memuaskan keduabelah pihak secara politis. Sedangkan pemerintah pusat sendiri adalah agen tunggal yang berkepentingan untuk mengamankan keuangan negara yang dikelola secara efisien.

Selanjutnya teori aplikasi mereka dapat diterapkan juga dalam pengalokasian dana APBN non dana desentraslisasi dengan model yang sama melibatkan Kemenkeu, K/L dan Kemenneg PPN/Bappenas. Jika dipetakan maka K/L dan Kemenneg PPN/Bappenas are likely to form coalition dan Kemenkeu menjadi berdiri sendiri.

Dengan desain pasar dana desentraslisasi dan dana APBN yang belum menemukan bentuk yang sesuai dalam implementasinya selama ini, saya kira model "the theory of stable allocations and the practice of market design" dapat dipertimbangkan untuk diimplementasikan dimana masing agen dalam pasar dana desentralisasi dan dana APBN dapat menemukan imbal hasil dalam hal ini dana desentraslisasi dan dana APBN yang sesuai preferensi masing-masing agen sehingga hasil akhirnya adalah kestabilan alokasi sumber daya (baca sumber dana desentralisasi dan dana APBN).

Bukankah kita ingin adanya kestabilan untuk tujuan yang baik. 

Catatan pinggir: LPS yang bisa dikatakan adalah anak kandung Kemenkeu bisa mengundang pemenang Nobel Tahun 2004 sebaiknya Kemenkeu lebih advance lagi bisa mengundang Pemenang Nobel Tahun 2012. Hanya usulan cheers....    

Sunday, 29 July 2012

Kedelai, Tempe, Importir, Kartel dan Perdagangan Bebas

Kedelai

Beny Trias Oktora

Ekonom


Setelah berakhirnya demonstrasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat kenaikan bahan mentah kedelai dan hiruk-pikuk yang menyertainya memunculkan beberapa pertanyaan yang tepat untuk diajukan terkait kedelai, tempe (one of my favorite dish at breakfast, lunch, dinner even for snack), importir dan perdagangan bebas.
  1. Apakah kebijakan proteksionis dari pemerintah dalam rangka melindungi kedelai lokal dengan hambatan bea masuk yang tinggi menciptakan kartel kedelai yang dapat seenaknya sendiri mengatur distribusi dan harga?
  2. Apakah dengan menghilangkan hambatan perdagangan yang menjadi jargon utama perdagangan bebas "removed all trade barriers" akan membuat harga kedelai lebih murah dan menguntungkan produsen tempe dan akan merugikan petani kedelai?
  3. Jika pertanyaan pertama dan kedua benar adanya, makanya apakah lebih banyak pihak yang diuntungkan yaitu produsen tempe, konsumen, kartel hilang sedangkan yang dirugikan hanya petani kedelai saja?
  4. Yang terakhir, terutama dengan adanya kisruh kartel akibat kebijakan proteksionisme pemerintah atas produk kedelai, apakah dengan fakta demikian perdagangan bebas menjadi solusi untuk menghilangkan kartel dan memastikan pasokan dengan harga pasar sesungguhnya?
Kisruh penolakan kenaikan harga kedelai dan tindakan sweeping tempe sebenarnya sudah menjawab semua pertanyaan diatas.

Dengan pasokan kedelai lokal yang susah untuk memenuhi kebutuhan nasional kemudian ada sebagian kebutuhan yang diimpor yang kemungkinan hanya dimainkan oleh segelintir pemasok untuk mencari keuntungan terlalu besar menciptakan kelangkaan memicu kenaikan harga. Kemudian dengan untuk melindungi kedelai dalam negeri yang kalah bersaing dengan harga kedelai impor pemerintah levy high tax barrier yang menambah harga makin meroket. Apakah skema seperti ini akan dilanjutkan?

Jika hambatan bea masuk kedelai dihilangkan maka harga lebih murah, pasokan aman dan kartel hilang. Namun petani kedelai menelan pil pahit. Pertanyaannya kenapa harga kedelai lokal lebih mahal padahal kedelai impor harus bayar ongkos kirim untuk ekspor? Tentunya kedelai impor lebih kompetitif karena entah lebih efesien dalam produksi (misal adanya kemudahan dan fasilitas dari pemerintahnya) atau harga disubsidi pemerintah.

Apakah bisa disimpulkan dengan menghilangkan hambatan perdagangan kedelai akan menormalkan kembali harga kedelai sesuai harga pasar? Let see.

Wednesday, 18 July 2012

Catatan: Apakah Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan bisa digantikan Hibah?

Pembangunan

Beny Trias Oktora

Analis Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan



Ada yang berpendapat bahwa dengan sudah berjalannya desentralisasi/otonomi daerah dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan azas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan akan terkoreksi dan berevolusi menjadi skema hibah. Dasar pemikiran yang menjadi argumentasi adalah pada perjalanan akhir pelaksanaan urusan dalam hal ini urusan pemerintah pusat di daerah dengan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah peng hibah an seluruh aset hasil pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah sehingga diargumentasikan jika pada akhirnya adalah akan dihibahkan kenapa tidak dari awal   melalui hibah saja. 

Pendapat ini melihat dari sisi kepraktisan semata yang tidak memperhatikan substansi utama dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jelas sekali bahwa dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah salah satu azas pelaksanaan/penyelenggaraan urusan pusat yang ada di daerah (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004). Yang berarti bahwa pemerintah pusat bertanggungjawab atas urusan tersebut yang pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Pelimpahan delegasi melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada daerah dilakukan dengan adanya pedoman dana dan teknis dengan maksud adanya kesamaan tujuan dan adanya kontrol oleh pemberi mandat. Dalam masa pelaksanaan juga diadakan pendampingan dan bimibingan teknis oleh kementerian/lembaga. Pada penghujung pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan BPK akan memeriksa yang apabila pelaksanaan ada penyimpangan pemberi mandat (kementerian/lembaga) akan diberikan opini yang tidak wajar. Esensinya adalah penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat kemudian didelegasikan ke pemerintah daerah dengan pedoman yang pada akhirnya dipertanggungjawabkan oleh kementerian/lembaga. 

Yang menjadi pertanyaan inti adalah apakah urusan pemerintah pusat bisa dihibahkan ke pemerintah daerah. Karena hibah mempunya nuansa "memberikan" dan "melepas" maka urusan yang dihibahkan akan memberikan dan menghibahkan tanggungjawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan pijakan PP No. 38/2007, urusan sudah dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga jika tingkat pemerintah yang lebih tinggi melepas urusan yang menjadi tanggungjawabnya akan menimbulkan preseden buruk bagi penyelenggaraan urusan.Disatu sisi hibah merupakan alat atau muara dari penyelenggaraan urusan bukan landasan/azas penyelenggaraan urusan. Cakupan hibah pun terbatas hanya pada aset dan dana.

Bisa disimpulkan bahwa sungguh tidak mungkin azas penyelenggaraan urusan pemerintahan yaitu azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan diganti spenuhnya dengan hibah. Penyelenggaraan urusan adalah sesuatu yang melekat pada semua tingkatan pemerintahan sehingga tidak bisa melepas urusan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan azas, pokok dan landasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintah sedangkan hibah adalah "alat" bukan azas sehingga keduanya tidak bisa saling menggantikan.